Apa saja dampak buruk menyontek? Dampaknya bisa jadi dirasakan pada jangka pendek, jangka panjang bahkan bisa berpengaruh pada hasil ijazah.
Bahaya Jangka Pendek dari Menyontek
Akibat menyontek pun dapat dirasakan jangka pendek.
- Siswa menjadi tidak pede dengan jawabannya. Padahal barangkali jawabannya lebih benar daripada milik temannya.
- menyontek juga membahayakan diri sendiri karena bila ketahuan guru, bisa dipastikan nilai 0.
- Bagi yang disontek, tidak menyesalkah bila yang menyontek mendapat hasil ujian yang lebih tinggi daripada Anda yang dicontek?
Artinya, kerjasama saat di ‘medan perang’ ujian adalah kesia-siaan, karena teman Anda hanya memanfaatkan diri Anda, dan Anda tidak sadar telah dimanfaatkan. Hal ini sering terjadi. Yang namanya kompetisi, maka setiap peserta harus bersaing, bukannya malah bekerja sama. Karena yang namanya juara itu hanya dimiliki oleh satu orang, bukan tim/ kolektif.
Baca Juga: Beralasan Sibuk Sehingga Enggan Belajar Agama
Bahaya Jangka Panjang dari Menyontek
Adapun bahaya jangka panjang seperti kata pepatah,
مَنْ يَزْرَعْ يَحْصُدْ
“Siapa yang menanam, dia akan menuai hasilnya kelak.”
Kalau itu adalah kejelekan yang ditanam, maka tunggu hasil jeleknya kelak.
Bila seorang siswa terbiasa menyontek, maka kebiasaan itulah yang akan membentuk diri.
Beberapa karakter yang dapat ‘dihasilkan’ dari kegiatan menyontek antara lain:
- mengambil milik orang lain tanpa ijin,
- menyepelekan, senang jalan pintas dan malas berusaha keras,
- dan kehalalan pekerjaan dipertanyakan.
Bisa dipastikan, saat siswa sudah dewasa dan hidup sendiri, tabiat-tabiat hasil perilaku menyontek mulai diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti mencuri, korupsi, manajemen buruk, pemalas, tetapi ingin jabatan dan pendapatan tinggi.
Dampak Buruk pada Ijazah dari Hasil Menyontek
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pernah ditanya, “Ada seseorang yang bekerja dengan ijazah, tetapi saat ujian ia telah berbuat curang (bohong) dan berhasil meraih ijazah tersebut. Adapun saat ini ia bekerja dengan baik karena hasil dari ijazah tersebut. Apakah gajinya itu halal atau haram?”
Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Tidak mengapa gajinya tersebut insya Allah. Namun, ia punya kewajiban untuk bertaubat karena dahulu telah berbuat curang saat ujian. Pekerjaan yang ia tempuh saat ini tidaklah bermasalah. Namun, ia telah berdosa karena melakukan kecurangan di masa silam. Kewajibannya adalah bertaubat kepada Allah dari perbuatan tersebut.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 31:19).
Namun, pengasuh Fatwa Islamweb mengatakan setelah menyebutkan fatwa di atas, “Hal ini berbeda jika pekerjaan tersebut disyaratkan harus dengan ijazah yang sah (yang benar-benar valid dari hasil usaha sendiri, bukan berbuat curang). Jika dipersyaratkan ijazah seperti itu, maka ia tidak boleh mengajukan lamaran pada pekerjaan seperti tadi. Karena setiap muslim harus memenuhi perjanjian yang telah ia sepakati.” (Sumber: Fatwa.Islamweb).
Silakan baca fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin: Ijazah dari Hasil Menyontek.
Bagaimana jika sudah bekerja, lalu ijazah tidak berpengaruh pada gaji?
Ada yang masuk bekerja dengan cara salah, tetapi ketika sudah bekerja, gajinya dihitung dari profesionalitas, bukan tergantung pada ijazahnya. Untuk masalah ini berlakukan kaidah fikih di bawah ini.
Ibnu As-Subkiy dalam Al-Asybah wa An-Nazhair juga berkata,
يُغْتَفَرُ فِي الدَّوَامِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِي الإِبْتِدَاءِ
“Dimaafkan ketika dilanjutkan, tetapi tidak dimaafkan ketika dari permulaan.”
Akan tetapi, jika berbuat curang sehingga berpengaruh langsung dalam ijazah dan ijazah ini berpengaruh pada kenaikan pangkat lalu besarnya gaji, gaji yang dihasilkan berarti menjadi masalah.
Baca juga: Meneruskan Lebih Mudah daripada Memulai
Berusah Tidak Menyontek
Yang jelas namanya dosa selalu menggelisahkan dan tidak menenangkan jiwa. Dalam hadits disebutkan,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
“Tinggalkanlah yang meragukanmu dan beralihlah pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.” (HR. Tirmidzi, no. 2518 dan Ahmad, 1:200, dari Al Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Baca Juga:
—
Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 23 Jumadats Tsaniyyah 1436 H, direvisi ulang pada 20 Muharram 1442 (11 September 2020)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com